KESABARAN BERBUAH DOMBA

Idul Adha bagi umat Islam bukanlah hari raya yang identik dengan acara makan besar dengan lauk-pauk daging kambing atau sapi. Akan tetapi, ada makna besar dari hari raya tersebut baik secara pemaknaan vertikal dan horisontal. Memaknai hari raya Idul Adha secara vertikal adalah bagaimana kita mengucapkan syukur kepada Dzat yang Maha Segalanya. Kita bersyukur karena senantiasa diberikan karunia, rahmat, bahkan hidayah sehingga kita bisa melihat kuasaNYA yang tidak akan pernah terhitung sampai kapanpun.
Sedangkan memaknai secara horisontal adalah bagaimana bentuk keikhlasan dan ketulusan kita saat diberikan ujian olehNYA. DIA akan memberikan pahala yang tidak terhitung, baik pahala untuk akhirat maupun pahala saat di dunia. Ujian dariNYA bisa kita maknai sebagai jalan pengorbanan kita terkait sesuatu yang kita sayang, sesuatu yang kita cinta, dan sesuatu yang kita miliki. Kita seakan diingatkan olehNYA bahwa kita sejatinya tidak memiliki apapun kecuali amal kita yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNYA.
Bentuk syukur dan bentuk keikhlasan serta ketulusan kita terhadap ujian dariNYA merupakan hikmah yang kita petik dari peristiwa Nabi Ibrahim as yang mengikhlaskan putra kesayangannya, Nabi Ismail as, untuk disembelih. Nabi Ismail as pun ikhlas dan pasrah ketika ia dipercaya menjadi korban sembelih karena ia percaya bahwa itu semata-mata bentuk kataatan sebagai hambaNYA. Ketaatan, keikhlasan, dan ketulusan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as akhirnya diganti dengan sesuatu yang luar biasa, yakni seekor domba yang sangat gemuk. Mereka sangat layak kita contoh terkait sikap berkorban sepenuh hati dan percaya sepenuhnya dengan karuniaNYA.
Pengorbanan terhadap apa yang kita miliki, apa yang kita suka, dan apa yang kita cinta memang bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut karena pengaruh nafsu yang juga diberikan olehNYA. Nafsu itulah yang harus kita kalahkan agar mata hati kita senantiasa terbuka bahwa kita bukan siapa-siapa jika tidak karena rahmatNYA. Nafsu juga bisa menjadi pengukur kita, apakah kita sudah mampu mengalahkan diri kita sendiri lalu kita menyalurkan penyeimbang nafsu, yakni cipta, rasa serta karya untuk kebermanfaatan umat manusia. Apabila kita sudah bisa menjadi manusia bermanfaat maka itulah sebaik-baiknya manusia, seperti sabda Rasulullah saw.

oleh silvia ratmawati

Tinggalkan komentar